Pertengahan bulan Mei, tiba-tiba teman saya, Sevma, menelepon. Ternyata dia menawari saya untuk kerja di Jakarta. Bukannya langsung menyanggupi, saya justru jadi dilema. Di satu sisi ingin segera kerja, tapi di sisi lain saya inginnya di Bandung, bukan di Jakarta. Saya perlu memikirkan beberapa hal karena ini menyangkut masa depan. Beda dengan terakhir kali saya dilema, itu cuma karena bingung mau pakai Go-Jek atau Grab. Go-Jek karya anak bangsa, tapi lebih mahal. Grab lebih murah, tapi sering pasang iklan di Youtube dan nggak bisa di-skip.
Akhirnya setelah konsultasi dengan orangtua, saya menerima tawaran kerja dari Sevma tersebut. Setelah dipikir-dipikir, ada baiknya menepikan dulu idealisme kerja di Bandung. Ada saatnya berusaha mengejar hal yang dianggap ideal dan ada juga saatnya memanfaatkan kesempatan lain yang muncul. Ibarat pengen nyetak hattrick sempurna pakai kaki kanan, kiri, dan kepala. Ketika udah berhasil nyetak gol pakai kaki kanan dan kiri, lalu tiba-tiba dapet hadiah penalti, ya kan nggak mungkin eksekusi penalti pakai kepala.
Hari itu pertama kalinya saya datang ke kantor tempat saya bekerja. Saya datang kepagian dan kantor belum dibuka sehingga harus nunggu di luar. Sambil nunggu, saya mengamati apa aja yang ada di sekitar kantor. Hingga mata saya tertuju ke papan nama perusahaan yang terpasang di atas pintu. Saya membaca baik-baik tiap kata di papan tersebut dan persis di bawah nama perusahaan tertulis alamat Jalan Bandung.
Seketika itu juga saya merasa kalau nanti berdoa harus lebih spesifik.
(Cerita ini termasuk dalam Cerita Jakarta dan Sekitarnya.)