Saya mikir-mikir untuk bawa kendaraan pribadi ke Jakarta. Alasannya tentu karena macet. Saya belum siap berada dalam situasi di mana jarak ke tempat tujuan tinggal 200 meter, tapi bisa kena macet sampai 2 jam. Akhirnya saya kemana-mana pakai transportasi umum. Bukan berarti bisa lebih cepat sampai tujuan, tapi setidaknya bukan saya yang harus nyetir. Atau setidaknya, bukan saya yang harus mengumpat kalau spion diserempet kendaraan lain. Kadang juga saya berharap di Jakarta ada alat transportasi jetpack. Tinggal pencet tombol kiri, kanan, L1, L2, R1, R2, atas, bawah, kiri, dan kanan lalu terbang. Kalau jetpack nggak memungkinkan, ya minimal drone yang bisa ngangkut orang.
Namun masalah di jalanan Jakarta bukan hanya macet. Saya kira dengan naik transportasi umum, satu permasalahan hidup berkurang. Ternyata saya salah. Dan permasalahan lain tersebut ialah nyebrang jalan. Ini sebenarnya kegiatan sederhana, tapi entah kenapa di Jakarta berubah jadi kegiatan ekstrim menantang maut. Perlu diingat bahwa nggak semua jalan ada jembatan penyebrangan dan nggak semua pengendara mau nurunin kecepatan. Saya pernah mau nyebrang jalan yang jaraknya cuma 5 meter, tapi bukannya jalan maju justru malah mundur. Kenapa? Karena banyak motor yang berusaha nyelip kendaraan lain dan berjalan terlalu ke pinggir. Di saat seperti itu saya cuma bisa berandai-andai punya kemampuan lompat jauh 10 meter.
Ngomongin permasalahan jalanan di Jakarta itu nggak ada habisnya. Kayak film Fast & Furious, udah masuk film ke-tujuh tapi masih lanjut terus, nggak kelar-kelar. Saya ingat kata Gofar Hilman, “Datang ke Jakarta tapi ngeluh macet itu sama aja kayak abis makan ngeluh kenyang”. Jadi ketimbang sering ngeluh sama jalanan di Jakarta, saya coba untuk mencari manfaat yang bisa diambil. Mungkin jalanan yang macet itu sebenarnya petunjuk supaya saya lebih sering di rumah. Belajar bikin jetpack atau belajar lompat jauh 10 meter.
(Tulisan ini termasuk dalam serial Cerita Jakarta dan Sekitarnya.)
