Salah satu cita-cita saya jadi Batman. Iya, kamu nggak salah baca kok. Laki-laki yang udah berumur 23 tahun ini emang mengidolai Batman dari kecil. Kenapa? Alasan sederhananya karena kostum Batman warnanya hitam. Laki-laki dengan pakaian serba hitam itu nggak pernah salah. Tampak lebih gagah, elegan, dan yang paling penting ketika punggung basah karena keringetan, orang-orang nggak tau.
Laki-laki dan warna hitam emang nggak pernah salah, tapi kalo warna hitam ini dipake untuk background instastory, lalu terdengar sayup-sayup lagu galau ditambah beberapa penggal kalimat warna putih ditulis kecil... ya goodluck aja deh capernya.
Alasan lain saya mengidolai Batman karena ia superhero tanpa super power. Batman kuat, tapi masih sesuai dengan level kemampuan manusia. Batman nggak bisa ngeluarin api dari matanya, nggak bisa terbang, dan nggak bisa kalo chat-nya nggak dibales berhari-hari. Batman mungkin superhero yang paling logis untuk kita pelajari kekuatannya. Batman kuat karena ia rajin olahraga, menguasai beberapa ilmu bela diri, dan punya banyak uang untuk bikin senjata. Satu hal lagi yang nggak kalah penting, Batman selalu prima karena nggak makan mie tiap malam. Saya nggak pernah liat Batman setelah pulang beraksi minta dibikinin mie sama Alfred. Sungguh orang yang kuat itu orang yang pas begadang bisa menahan diri dari godaan makan mie.
Saya ingin jadi Batman karena saya ingin menolong orang dan menumpas kejahatan. Saya ingin seperti Batman, ketika ada orang tak bersalah dihadang segerombolan penjahat, Batman tiba-tiba muncul dan menghajar mereka satu persatu dengan hebatnya. Setelah itu Batman berpesan kepada korban,
"Titi DJ. Ati-ati di jalan." kata Batman dengan suara beratnya.
Belum sempat si korban ngucapin terimakasih, Batman udah menghilang duluan. Keren abis. Kalo saya jangankan berantem sama penjahat, dimintain tarif parkir motor 3.000 sama tukang parkir aja saya nggak bisa apa-apa, cuma bisa ikhlas.
Saya belum sekuat Batman untuk bisa berantem sama penjahat. Saya mungkin juga nggak akan pernah punya kostum sebagus Batman, peralatan super canggih, dan goa untuk saya tempati. Bahkan seorang Robin, rekan kerja Batman, juga nggak akan bisa jadi Batman. Ya karena Batman nggak hanya sekadar orang yang kuat, tapi juga simbol harapan masyarakat. Batman nggak hanya sekadar pahlawan yang punya alat canggih, tapi juga punya tingkat intelektualitas yang tinggi.
Saya lalu sadar, menjadi Batman seperti di film itu masih terlalu besar untuk bisa saya wujudkan sekarang. Jadi apa saya harus berhenti bercita-cita menjadi Batman? Tunggu dulu.
Saya pikir, untuk bisa menjadi besar memang perlu merasakan menjadi kecil dulu. Semuanya butuh proses dan bertahap. Ingin mengubah bumi menjadi tempat lebih baik, coba mulai dengan memperbaiki tempat tinggal sendiri dulu. Ingin menyerukan perdamaian di dunia, coba mulai dengan nggak nyinyir di sosial media. Ingin menjadi Batman yang membasmi kejahatan, saya perlu coba mulai dengan menjadi pahlawan buat orang-orang terdekat dulu.
Sama halnya dengan Batman, sebenarnya saya juga punya kesempatan untuk menolong orang lain sesuai kemampuan saya. Saya mungkin nggak bisa dengar keluh kesah masyarakat, tapi saya bisa menjadi pendengar yang baik ketika orang-orang terdekat lagi curhat. Saya mungkin nggak bisa berantem sama penjahat, tapi saya bisa ada ketika dibutuhkan sahabat. Saya mungkin nggak bisa memberantas kawanan perampok, tapi saya bisa tau diri untuk nggak ikut menyebarkan berita hoax.
Saat ini saya bukan Batman seperti yang biasa disaksikan di film, tapi saya bisa menjalankan misi yang sama dengan Batman; membantu mereka yang membutuhkan. Kalo Batman dicariin orang-orang pake pancaran lampu logo Batman yang ditembak ke langit, kalo saya cari aja lewat chat biar nggak ribet. Atau DM juga gapapa.