Kamis, 22 Maret 2018

Harga Sebuah Karya

Hari itu saya dan dua orang teman lagi ngerjain video iklan di sebuah cafe. Namanya Dipta dan Putra. Kami udah saling kenal sejak SMA. Pas kuliah, saya dan Dipta masuk ke satu kampus yang sama, sementara Putra di kampus yang berbeda. Walaupun gitu, saya dan Putra tetep berhubungan baik. Putra sering ngajakin main game ke rumahnya dan selalu menyuguhkan makanan. Biasanya saya juga minta dibungkus.

Di sela-sela break karena mesti nge-charge batre kamera, kami duduk santai di halaman depan cafe. Saya dan Putra duduk berhadapan di satu meja sementara Dipta duduk terpisah di meja lain sambil ngerokok. Mungkin Dipta ingin menghargai kami yang nggak merokok dengan menjaga jarak. Mungkin di pikiran Dipta, "Jangan sampai asap rokok ini mencemari oksigen yang temen-temenku hirup. Biar aku aja yang tercemar. Biar aku!"

Saya lalu membuka obrolan dengan Putra yang sedaritadi megang handphone. "Ada kerjaan apa belakangan ini?" tanya saya dengan format pertanyaan pembuka obrolan yang penuh basa-basi.

"Kemarin abis bikin video buat kado ulang tahun ibuku nih." jawab Putra antusias.

"Wah keren-keren!" balas saya. Bagi saya, membuat video khusus untuk seseorang itu romantis. Ada cerita yang divisualkan yang disuguhkan. Lebih dari sekadar kata-kata yang ingin disampaikan. Apalagi untuk seseorang yang sangat spesial, seperti Ibu.

Saya tau Putra juga punya minat yang sama dengan saya di dunia videografi. Jadi saya nggak heran kalo kado yang ia pilih dalam bentuk video. Bahkan dalam urusan penggunaan kamera, Putra lebih mahir dari saya. Kalo saya kadang masih suka lupa naro tutup lensa kamera di mana.

"Mau liat dong videonya." minta saya ke Putra.

"Jangan ah.. Videonya jelek." balas Putra singkat.

Saya kaget denger jawaban Putra. Bukan karena ditolak. Kalo ditolak saya udah ser.. (kayaknya saya nggak perlu ngelanjutin pernyataan self deprecating tentang cinta-cintaan biar nggak keliatan pathetic). Saya kaget sama alasan Putra yang menyatakan video buatannya sendiri jelek.

"Kok gitu? Kamu nggak bangga sama video karyamu sendiri?" saya mengerutkan alis. Saya mempersilakan Putra ngasih penjelasan sebelum saya 'menceramahi' Putra tentang pentingnya bangga dengan karya buatan sendiri.

"Kemarin aku nunjukin video ini ke temenku. Setelah nonton, temenku bilang 'gini doang?'. Ya aku ngerasa berarti videonya jelek." papar Putra. Raut wajahnya kali ini serius.

Saya makin kaget dengernya. Temen Putra yang bahkan nggak ada kontribusi apa-apa di videonya ngomong 'gini doang?'. Menurut saya 'gini doang' itu respon yang lebih pantes ditujukan ke ayam fried chicken yang coba varian baru yang katanya pedes banget padahal rasa pedesnya.. gini doang?!

Dari paparan Putra tadi ada dua hal penting yang saya dapet. Pertama, untuk orang-orang yang melihat karya orang lain. Apakah kamu pengen liat karya itu semakin baik? Kalo iya, cobalah dengan ngasih saran gimana supaya karya itu bisa lebih baik. Cobalah dengan ngasih masukan ke orang yang berkarya, apa yang bisa ia kembangkan. Dengan begitu, penikmat karya nantinya bisa semakin terpuaskan dan orang yang berkarya bisa terus belajar meningkatkan kemampuan. Kalo enggak, ya mending simpan komentar-komentar itu buat diri sendiri.

Menurut saya, orang yang hanya berkomentar negatif itu sebenernya orang yang nggak yakin dengan kemampuannya sendiri. Mereka nggak yakin bisa melakukan hal lebih baik. Mereka nggak mau ada orang yang melakukan hal lebih baik, makanya mereka ngasih komentar negatif.

Kedua, buat orang-orang yang berkarya, termasuk saya. Kita tau kalo nggak semua orang akan menghargai karya kita. Ada yang mencibir, menyepelekan, dan mungkin yang menganggap kita nggak mampu. Tapi ingat, dari segelintir orang itu, pasti ada yang menghargai apa yang udah kita buat. Mendukung, ngasih masukan, bahkan membantu kita berkarya lebih baik. Tinggal kita yang memilih mana yang mau didengar, yang menyepelekan atau yang memberi dukungan?

Sebagai orang yang membuat karya, kita juga udah sepatutnya bangga dengan hasil yang kita buat. Menurut saya, kitalah seharusnya orang paling pertama yang bangga. Ada waktu, tenaga, dan pikiran yang udah kita luangkan. Berbanggalah udah berhasil menyelesaaikannya. Rasa bangga juga membuat kita lebih pede untuk memperlihatkan ke orang lain. Meskipun pas kita update karya kita di Instagram yang nge-like cuma sedikit, mungkin kita hanya belum menemukan target penikmat yang tepat. Bersabarlah. Beli followers bukan solusi. 

"Terus udah kamu liatin videonya ke Ibumu?" tanya saya.

"Udah. Ibuku nangis liatnya. Terharu kayaknya dibuatin video gitu." jawab Putra dengan senyum di wajahnya. Saya rasa Putra juga nggak nyangka kalo respon Ibunya sampai menangis terharu begitu.

"Lah berarti bagus dong videonya." balas saya mencoba kembali meyakinkan Putra.

"Iya ya. Berarti kemarin aku salah nanya orang." kata Putra.

Dipta lalu duduk di sebelah Putra setelah rokoknya ia hisap habis. Saya lalu meminta Putra untuk menunjukkan video itu ke Dipta. Putra menyerahkan handphone ke Dipta.

"Bagus nih. Aku suka." respon Dipta setelah sekitar 2 menit ia menyaksikan videonya.

Putra tersenyum senang. Mungkin ada rasa lega dalam dadanya. Ternyata selama ini video karyanya bagus. Ia hanya salah memilih respon siapa yang harusnya ia dengar.

Obrolan dengan Putra hari itu semakin membulatkan tekad saya untuk selalu mendukung teman-teman yang berkarya. Saya tau berat rasanya berjalan tanpa apresiasi. Saya nggak mau mereka berhenti berkarya karena merasa nggak ada yang mendukung. Toh, bukannya lebih enak ya kalo kita bisa saling berkolaborasi dan melengkapi dalam berkarya, daripada saling mengalahkan?