Selasa, 11 September 2018

Mencari Searching

Sabtu lalu, saya main ke kosan Upan. Upan ini temen serumah selama kuliah di Jogja dan sekarang lagi di Jakarta. Hari itu rencananya mau buat Podcast of Verezha dengan Upan sebagai bintang tamunya. Iya, untuk konten di sosial media. Zaman sekarang tujuan ketemu temen itu bukan lagi sekadar pengen ngobrol, tapi juga biar ada bahan update di sosial media. Ya menurut saya sih nggak masalah. Tapi yang sering bikin heran itu ketika ada yang update di instastory sambil ngomong, "Hayo lagi sama siapa nih?" lalu mengarahkan handphone ke temen-temennya. Saya cuma mau bilang, tolong jangan buat kami yang nonton jadi merasa bersalah karena nggak bisa jawab siapa nama temen-temen kamu.

(Oh iya, podcast bareng Upan udah bisa temen-temen dengerin di sini ya.)

Saya sampai kosan Upan sekitar jam 3 sore. Karena masih sore dan hari itu agendanya cuma buat podcast, akhirnya kami memutuskan untuk nonton film dulu di bioskop. Tahap pertama yaitu menentukan film apa yang mau ditonton, bisa kami lalui dengan baik. Kami sepakat nonton film Searching ketimbang Wiro Sableng. Alasannya karena Searching sebentar lagi turun layar. Lalu di tahap kedua yaitu menentukan bioskop, kami terlibat diskusi panjang. Saya dan Upan beradu data dan fakta. Secara data, kurang lebih ada 80 bioskop di Jakarta. Begitu banyaknya jumlah biskop bikin kami bingung mau nonton di mana. Secara fakta, kami cuma mampu beli tiket yang murah. Maklum, di Jakarta kami harus pintar-pintar bertahan hidup. Ada yang lokasi bioskopnya dekat, tapi mahal. Ada yang murah, tapi jauh. Ada yang dekat dan murah, tapi filmnya udah nggak tayang.

Setelah kurang lebih setengah jam bertukar pandangan dan gagasan, akhirnya kami memutuskan nonton di Plaza Indonesia. Lokasinya dekat, jadwal tayangnya cocok, tapi harga tiketnya 70 ribu. Iya, 2 kali lipat dari harga ketika weekdays. Kami harus menyerah pada kenyataan bahwa nggak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Selain itu, saya jadi menyadari kalau banyak pilihan bioskop ternyata belum tentu memudahkan untuk memilih. Menurut teori paradox of choice, more is less. Semakin banyak opsi justru mempersulit untuk membuat pilihan, bahkan bisa berujung pada nggak milih sama sekali. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, untung aja yang jumlahnya 80 itu bioskop, bukan calon presiden. Bayangin, cuma ada 2 calon presiden aja udah menimbulkan perselisihan di mana-mana, apalagi kalau ada 80. Hmm mending nabung dari sekarang deh buat pindah ke Trinidad & Tobago.


(Cerita ini termasuk dalam Cerita Jakarta dan Sekitarnya.)