Malam itu salah seorang sobat, Virga, datang ke rumah saya untuk menginap. Setelah beberapa obrolan kecil, ternyata kami merasakan hal yang sama, lapar di tengah malam. Diputuskanlah untuk berangkat ke Gudeg Bromo (Bu Tekluk), salah satu kuliner malam di Jogja yang populer. Sedikit informasi, Gudeg Bromo baru buka sekitar jam 10 malam hingga 3 pagi. Kayaknya pemiliknya emang menyasar orang-orang yang sering laper di jam segitu ya. Namun bisa jadi sekarang kondisinya justru orang-orang sengaja nunda makan malam dan nahan lapar supaya bisa menyantap Gudeg Bromo dengan lebih nikmat. Saking terkenal enaknya gudeg ini.
Sesampainya di Gudeg Bromo, saya dan Virga udah maklum melihat antrian yang mengular, padahal gudegnya baru buka sekitar setengah jam yang lalu. Seperti udah menjadi tradisi di sini, untuk bisa menyantapnya kita perlu ngantri sekitar setengah jam. Kalo lagi benar-benar rame, bisa lebih lama dari itu. Serame apa? Pokoknya bisa bikin driver Go-jek menolak pesanan go-food kita. Cancel aja, katanya. Ya tapi tentu ada usaha ada rasa. Ngantri selama itu emang selayaknya diganjar dengan gudeg yang sungguh nikmat. Seperti sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris, every day is one step closer to our dream. Pas ngantri Gudeg Bromo, tiap menit itu kita selangkah lebih dekat dengan tujuan kita, sang gudeg.
Setelah masing-masing mendapatkan sepiring gudeg, sambil melahap kami melanjutkan beberapa obrolan yang dimulai sejak berdiri mengantri tadi. Obrolan kami umumnya membicarakan orang lain, tapi kami bukan ghibah (membicarakan keburukan), melainkan melihat sisi piskologis dari perilaku orang lain. Cie gitu. Ya ini justifikasi sih.
Setelah ngobrol ini itu, sampailah saya dan Virga pada sebuah topik yang cukup membuat kami membahas dengan menggebu-gebu.Topiknya adalah: diri kita dibandingkan dengan orang lain. Perlu nggak sih kita membandingkan diri kita dengan orang lain?
Menurut saya, nggak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain karena yang lebih penting adalah kita yang sekarang bisa lebih baik dari yang sebelumnya. Berkompetisilah dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Jangan pernah merasa harus lebih hebat dari orang lain karena ketika kita udah merasa demikian, maka kita akan berhenti berproses karena udah merasa menang.
Selain itu, membandingkan diri sendiri dengan orang lain juga bisa menjadi bentuk nggak bersyukur atas proses yang kita jalani. Anggap aja kita ingin menjadi penulis buku hebat macam Dale Carnegie. Buku pertama yang kita buat ternyata belum sebagus milik Dale, begitupun mungkin buku kedua dan ketiga yang kita buat. Lalu kita menyesali diri kita kenapa tidak bisa menulis sehebat Dale hingga kita lupa padahal sebenarnya buku-buku yang kita tulis menunjukkan perkembangan. Hanya karena ingin menjadi lebih baik dari orang lain, kita jadi lupa menghargai diri sendiri yang udah lebih baik dari sebelumnya.
Besar kemungkinan kita semua di sini nggak suka kalo ada orang yang membandingkan diri kita dengan orang lain. Baik itu nilai, prestasi, pencapaian hidup, karya, atauapun hal lain. Kalo begitu ya jangan sampe justru kita sendiri yang membandingkan diri kita dengan orang lain. Hal ini juga berlaku sebaliknya, sebaiknya kita jangan membandingkan-bandingkan. Membandingkan lebih baik mana, Messi atau Ronaldo, Isyana atau Raisa, Youtube atau TV.
Malam itu, setelah sekitar satu jam kami duduk ngobrol, ada yang terasa lebih nikmat dari sepiring Gudeg Bromo, yaitu sebuah ilmu dan sudut pandang baru yang didapat. Jelas ini lebih nikmat, karena sepiring gudeg hanya untuk satu malam, tapi ilmu yang didapat bisa untuk bertahun-tahun lamanya. Jadi, kalo kamu lagi makan bareng, saling berceritalah atau bertukar pikiran karena pasti ada hal baru yang kamu dapet dari dia, dan juga sebaliknya. Jangan melulu menatap layar henpon, kecuali ketika makan bareng, kalian ngobrol lewat video call.