Senin, 24 April 2017

Lulus dari Raditya Dika

Tiap kali ditanya tentang cita-cita, saya kerap menjawab,

"Pengen jadi penulis, pembuat film, bekerja di industri kreatif, ya kayak Raditya Dika gitu pokoknya."


Beginilah awal cerita saya ingin menjadi seseorang seperti Raditya Dika




Seingat saya, sampai usia 22 tahun saya hidup, ada dua role model yang saya kagumi dan memberi dampak dalam keseharian. Pertama Dochi personil Pee Wee Gaskins. Selain menjadi frontman PWG, Dochi juga dikenal karena fashion-nya yang jadi trendsetter. Kalo masih pada inget trend kacamata dengan lensa gede sekitar tahun 2013, rambut poni ala anak emo, kaos Drop Dead atau Afends, mungkin ada sumbangsih Dochi di situ. Saya juga mengagumi Dochi sebagai musisi yang cerdas dan 'beda'. Nggak ada alasan yang kongkret sebenernya kenapa saya bilang begitu. Ya namanya juga ngefans, semuanya akan terlihat keren. Tapi, kalo melihat blog-nya atau Twitter-nya ya Dochi emang terlihat sebagai musisi yang menarik. Hingga akhirnya saya sadar, saya nggak bisa seperti Dochi karena nggak bisa main musik dan nyanyi. Menjadi seperti Dochi tapi dalam bidang lain saya rasa sih enggak ya, karena akan merasa hilang arah ketika awalnya melakukan sesuatu ingin terlihat seperti orang lain lalu ketika udah berlanjut jadi bingung karena sosok yang dicontoh nggak ngelakuin itu. Mungkin ini bahayanya terlalu mengidolai satu sosok, ketika jalan yang kita ambil beda dengan sang idola, kita bingung harus ngapain. 


Raditya Dika (selanjutnya akan saya tulis Radit) adalah role model kedua yang saya kagumi. Sewaktu masih SMP, entah bagaimana kala itu cara semesta mempertemukan saya dengan novelnya yang akhirnya saya beli tanpa tau sinopsisnya dan bahkan nggak tau Radit ini siapa. Tentu karena saat masih SMP, tahun 2007, internet dan media sosial belum booming kayak sekarang. Untungnya novel karya Radit emang asik untuk dibaca. Ringan, jenaka, dan menghibur. Cocok untuk saya yang sedari SMP udah punya tanggungan berat sebagai admin Facebook tim bola komplek yang tiap bulan nyari lawan tanding. 


Gaya menulis saya di blog berubah setelah membaca novel karya Radit. (Udah nulis di blog sejak SMP.) Mencoba menulis dengan gaya 'gue-lo' padahal tiap hari 'aku-kamu' biar standar gaulnya naik. Kacau emang kalo udah Jakarta-centris, hal-hal yang bersifat kedaerahan sulit keangkat. Saya juga mencoba untuk nulis hal-hal yang sifatnya humor. Walaupun saya belum siap dibilang nggak lucu. Ya tapi begitulah impact dari seorang Radit ke saya. Hingga saya akhirnya punya cita-cita sebagai penulis, seperti Radit. (Waktu itu saya belum kepikiran bagaimana cara cari uang untuk hidup dari profesi menulis, saya belum tau susahnya nembus penerbit, belum tau kalo nggak semua penulis bisa terkenal. Kalo kamu punya temen masih SMP punya cita-cita jadi penulis, di-support dulu aja, jangan kasih tau realitanya, jangan matiin mimpi orang ya.)


Ketika saya SMA, Radit kemudian muncul melalui medium baru, standup comedy, yang mana bener-bener baru di Indonesia. Seketika titel yang tersemat dalam diri Radit bertambah, selain penulis ia juga seorang komika. Radit jadi komika yang paling ditunggu penampilannya. Salah seorang komika lainnya bahkan sampe kesel karena ketika ia akan show, yang ditanya penonton adalah 'Ada Raditya Dika nggak?'


Bagaimana dengan saya? Sejak video standup Radit muncul di Youtube, saya mulai mengikuti perkembangan standup comedy. Walaupun yang tetep saya tunggu adalah penampilan Radit, tapi saya nggak nanya ke komika lain apakah Radit akan tampil juga atau enggak. (Ya iyalah, kan bisa dibaca di posternya siapa aja yang nampil. Jadi orang tuh kalo nggak suka baca buku nggak papa, tapi kalo nanya sesuatu yang sebenernya udah ada penjelasannya dan bisa dibaca kan kelewatan.) 


Saya semakin kagum dengan Radit, selain jago menulis ia juga lihai dalam berbicara. Belum pernah rasanya saya bertemu dengan sosok yang semenyenangkan ini. Hingga akhirnya di tahun 2015 saya memberanikan diri untuk bikin resolusi kalo di tahun itu saya akan mencoba open mic, mencoba standup comedy bagi pemula. Bagaimana hasilnya? Sepanjang 2015 saya sama sekali nggak mencoba open mic, hingga sekarang. Seperti yang udah saya bilang di atas, saya belum siap dibilang nggak lucu. 


Berbarengan dengan hingar bingar standup comedy, Radit lalu muncul lagi lewat mockumentary Malam Minggu Miko (MMM). Ya saya cukup yakin kalian pernah nonton atau minimal tau, mana yang Miko mana yang bukan. Lagi-lagi ini hal baru di Indonesia. Yang awalnya hanya ditayangkan di Youtube, sampe diangkat ke TV. Saya semakin kagum dengan Radit. Setelah menunjukkan kemampuan menulis dan berbicara (sounds so wrong), Radit muncul dengan karya seni peran. Dengan karakter polos, lemah, dan bodoh dalam percintaan. Jujur, saya jadi pengen kayak Miko. Kenapa? Karena terlihat sangat lucu dan menyenangkan. Punya perawakan sebatasnya, pekerjaan nggak jelas, tapi punya sohib dan ART yang kocak, ditambah lagi punya gebetan tiap minggu. Ya walaupun akhirnya nggak jadi pacar juga sih, tapi lebih baik gagal dan nyesel setelah mencoba ketimbang nyesel karena nggak pernah nyoba. 


Se-begitu-kurang-identitas-nya saya sampe kepengen kayak Miko. 


Di sisi lain, saya mulai kepincut untuk bikin semacam film pendek. Ya, karena Radit lagi. Namun sayangnya ketika itu, saya nggak punya waktu karena kesibukan di SMA, terlebih lagi nggak punya kamera. Padahal begitu banyak ide yang menyeruak. Saya cukup menyesali ini, karena setelah saya lulus SMA, saya merasa semua itu hanyalah excuses aja. Sebenernya saya bisa aja bikin kalaitu, cuma karena bukan prioritas, effort-nya jadi kurang. Sama aja halnya kayak kita pengen nurunin berat badan tapi selalu ada alasan untuk nunda olahraga, nunda ngatur pola makan, dan sebagainya. Saya punya pesan untuk kalian yang udah baca sampe paragraf ini, pokoknya kalo kalian pengen ngelakuin sesuatu, entah nurunin berat badan, atau bikin usaha, atau bantu bayarin hutang pemerintah, ya lakuin aja. Kebanyakan mikir malah nggak jadi-jadi. Saya baru berasa segitu dalemnya slogan yang diusung Nike, 'Just Do It'. Kadang kita dengan mimpi kita terasa jauh hanya karena kita belum ngelakuin apa-apa. 


Belakangan ini kita semua tau Radit sedang berkutat dengan proyek filmnya. Dari tahun 2009 hingga 2017 ini, kurang lebih ada 9 film yang udah ia perankan. Radit menjajal dunia baru lagi sebagai sutradara, script writer, dan sekaligus pemerannya. Kurang multi-talent apa orang satu ini. Seakan semua hal bisa ia kerjakan dan bisa jadi ladang mata pencaharian Radit. Seolah apapun yang ia kerjakan pasti akan tetep laris. Saya rasa kalo Radit nyalon sebagai Presiden pun akan tetap terpilih karena rekam jejaknya bersih dari isu ras dan agama. Ya, semua hal yang Radit kerjakan nggak ada yang bisa dibilang bener-bener jelek, meskipun juga nggak semuanya bisa dibilang bagus.


Mengetahui Radit terjun dalam dunia perfilman, kemudian apa yang saya lakukan? Saya mulai menaruh minat tentang perfilman. Saya mulai sedikit-sedikit belajar bagaimana cara membuat film pendek, cara menulis script, bagaimana proses pre-production, production, dan post-production. Saya menonton film nggak lagi sama dengan sebelumnya. Saya mulai melihat lebih detail bagaimana cara pengambilan gambar, bagaimana dialog antar pemain, dan bagaimana alur cerita. Hingga akhirnya saya beberapa kali ikut lomba film pendek. Semua karena Radit. 


Semua jalan yang Radit pilih hampir semuanya udah saya coba dan semuanya menyenangkan, hingga akhirnya saya memutuskan untuk 'meluluskan diri' dari Radit. Meluluskan diri di sini artinya saya udah cukup dengan karya-karya yang Radit tawarkan. Bukan tak membaca atau menyaksikan lagi karyanya, tapi tak lagi menikmatinya. Penyebabnya?


Apakah karena saya gagal mengikuti langkahnya? Nggak. Sebut saya gagal kalo saya berhenti mengejar impian saya. Nyatanya saya masih terus mencoba. 


Apakah karena saya nggak mendapat apresiasi yang setimpal? Nggak juga. Ya emang kita sebagai manusia butuh apresiasi, tapi tiap kali saya melakukan sesuatu, penting untuk saya sadari bahwa saya melakukannya karena emang ingin melakukannya, bukan semata mengejar fame, likes, atau pujian. 


Penyebabnya karena umur dan interest yang berkembang. Di usia yang ke-22 saya semakin melek dengan dunia yang jarang Radit angkat dalam karyanya. Sebut aja seperti business, advertising, marketing, human interest, dan politik. Ketertarikan yang nggak dapat saya penuhi lewat Radit. Ini mungkin yang saya bilang karena umur. Entah hal-hal yang saya sebutkan tersebut makin ke sini makin nyaring bunyinya atau emang saya udah masuk umur untuk kenal dengan itu semua. 


Sementara dunia yang Radit tawarkan berkutat tentang keluarga, persahabatan dan percintaan. Tak begitu relevan dengan usia saya sekarang. Bukan nggak penting, tapi saya merasa udah waktunya beranjak untuk kenal dengan dunia yang lain. Saya tau bahwa Radit menjaga komposisi itu karena ia udah mendapatkan segmen yang solid, meskipun saya mengerti Radit juga cerdas dalam bidang lain. Contohnya Radit pernah menjadi bagian dari Provocative Proactiveacara di Metro TV yang kurang lebih ngebahas tentang isu terkini dan politik. 


Radit juga menjaga media sosialnya tetep 'bersih', menghindari isu yang menimbulkan pro dan kontra. Ketika kita mengikuti sosial medianya, ya kita hanya tau tentang 'dunia' Radit. Bukan dunia dari sudut pandang Radit. Ketika sedang hangat isu atau kasus terkini, jangan berharap kita mengetahui komentar Radit. Karena jika ia berkomentar maka konsekuensinya adalah orang-orang akan setuju atau justru muncul antipati. Sepertinya ini adalah cara Radit untuk mengurangi kemungkinan blunder yang berpotensi mengurangi penikmat karyanya.


Setelah kurang lebih 10 tahun mengikuti Radit, sekarang saya rasa ini adalah waktu yang tepat untuk 'lulus'. Saya ingin belajar lebih banyak lagi dan saya udah menemukan sosok di mana saya bisa 'belajar'. Layaknya lulus SMA, sekarang waktunya saya menentukan akan kuliah di mana.


Tentu harus ada pelajaran yang saya ambil dari 'kelulusan' ini. Yang paling penting saya pelajari dari seorang Raditya Dika, yang membentuk saya hingga saat ini adalah saya ingin hidup sebagai orang yang menghasilkan karya. Start creating, stop consuming


Pondasi kuat yang udah 'ditanamkan' Radit selama saya mengikutinya. 


Lalu ketika ada orang yang bertanya apa cita-cita saya, apakah saya akan tetep menjawab menjadi seperti Raditya Dika?


Jawabannya iya. Karena Radit doang kayanya kalo saya sebut kalian pada kenal. 


Emang kalo saya sebut Pandji Pragiwaksono, Gofar Hilman, dan Adriano Qalbi kalian pada tau?